Kamis, 31 Januari 2019

Manusia Plastik



Kata ibu, orang-orang sudah berubah jadi manusia plastik. Aku takut keluar rumah, karena manusia plastik suka mencari mangsa. Manusia plastik biasanya berkeliaran menjelang senja. Sebab matahari siang bisa melelehkan tubuh mereka. Mereka biasanya berkeliling di komplek-komplek, duduk berdiam di tengah jalan raya, atau pura-pura menunggu kereta di stasiun pada jam ramai pulang kerja. Aku lebih baik mati kesepian di dalam rumah daripada harus bertemu manusia plastik. Tapi ibu sering memaksaku keluar untuk bergaul dengan manusia plastik, kata ibu biar aku terbiasa dengan kehadiran mereka.
            Pernah suatu hari karena aku pulang terlambat ke rumah, sebab hujan di sekolah tidak juga mau reda, sialnya, aku bertemu manusia plastik di jalan raya. Seluruh sendiku lemas, tiba-tiba kucuran keringat lancar mengalir, seluruh bajuku basah, pandanganku kunang-kunang, Oh Tuhan rasanya aku mau pingsan!. Sekuat tenaga aku tahan agar tidak tumbang, sebab aku tidak mau digotong manusia plastik sampai rumah. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku, walau dengan langkah gontai dan berharap semoga manusia plastik tidak menegurku!.
         Aku dan manusia plastik sudah berhadapan, jarak kami hanya sekitar 5 jengkal. Bagiku ini adalah rekor tertinggi karena bisa tahan berdekatan dengan manusia plastik. Tiba-tiba kakiku terselandung batu, aku hampir jatuh berdebum di jalan aspal, jika saja tubuhku tidak ditopang dengan tangan manusia plastik, celaka, dia menyentuhku! Entah apa lagi yang bisa kupikirkan saat itu, selain berkhayal mengapa bumi tidak runtuh saja, agar aku tidak merasakan kulitnya menyentuh kulitku, matanya menatap mataku, bibirnya menggumam namaku. Aku kehilangan kesadaran.
            Saat bangun, aku sudah di kasur rumah, dengan tatapan mata ibu yang bingung dan khawatir dengan keadaanku.
“Ibu, apa aku sudah berubah menjadi manusia plastik?” tanyaku cemas.
“Belum Nak, kamu istirahat dulu, syok dan takut berlebih membuat kamu tak  sadarkan diri tadi.” ucap ibu meyakinkanku. Kata-kata ibu belum membuatku tenang, langsung kusambar cermin kecil, dan menjelajah setiap lekuk wajah. Dari kening sampai dagu kususuri perlahan, ternyata aman, aku menghela nafas lega.
       Tiba-tiba ada suara ketukan pintu, membuyarkan lamunanku dari manusia plastik, dan dari pengalaman buruk yang selalu menghantui. Terlihat seraut wajah menyembul dari balik pintu yang tak terkunci. Tetapi, tunggu dulu, aku mengucek mata sekali lagi, lagi dan berulangkali, sampai mataku merah dan berair. Hampir saja aku lupa cara bernafas, tercengang menahan cemas, ibu sudah berubah jadi manusia plastik!. Perlahan tapi pasti, ibu yang seluruh wajah dan tubuhnya licin plastik, mendekatiku yang kikuk dan mati gaya di hadapan jendela. Langkah kakinya menghasilkan suara tak-tok-tak-tok, seperti botol minum plastik yang dijalankan dengan berjingkat-jingkat di atas lantai keramik.
“Ibu..ibu..kenapa ibu berubah jadi manusia plastik? Aku mengucap terbata-bata.
“Kllsstt...kllssttt...kllsstt...kllsstt” yang keluar dari mulut ibu hanya bunyi “keset-keset” ngilu yang membuat bulu kuduk merinding tak tahan.
“Ibu...ibu...jangan mendekat, sana bu, menjauh!” aku melemparkan apapun yang dapat kujangkau ke muka ibu. Sial sekarang aku sudah sah jadi anak manusia plastik!.



#katahatiproduction
#katahatichallenge
#fiksimini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar