Kata
ibu, orang-orang sudah berubah jadi manusia plastik. Aku takut keluar rumah,
karena manusia plastik suka mencari mangsa. Manusia plastik biasanya
berkeliaran menjelang senja. Sebab matahari siang bisa melelehkan tubuh mereka.
Mereka biasanya berkeliling di komplek-komplek, duduk berdiam di tengah jalan
raya, atau pura-pura menunggu kereta di stasiun pada jam ramai pulang kerja. Aku
lebih baik mati kesepian di dalam rumah daripada harus bertemu manusia plastik.
Tapi ibu sering memaksaku keluar untuk bergaul dengan manusia plastik, kata ibu
biar aku terbiasa dengan kehadiran mereka.
Pernah
suatu hari karena aku pulang terlambat ke rumah, sebab hujan di sekolah tidak
juga mau reda, sialnya, aku bertemu manusia plastik di jalan raya. Seluruh sendiku
lemas, tiba-tiba kucuran keringat lancar mengalir, seluruh bajuku basah,
pandanganku kunang-kunang, Oh Tuhan rasanya aku mau pingsan!. Sekuat tenaga aku
tahan agar tidak tumbang, sebab aku tidak mau digotong manusia plastik sampai
rumah. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku, walau dengan langkah
gontai dan berharap semoga manusia plastik tidak menegurku!.
Aku
dan manusia plastik sudah berhadapan, jarak kami hanya sekitar 5 jengkal. Bagiku
ini adalah rekor tertinggi karena bisa tahan berdekatan dengan manusia plastik.
Tiba-tiba kakiku terselandung batu, aku hampir jatuh berdebum di jalan aspal,
jika saja tubuhku tidak ditopang dengan tangan manusia plastik, celaka, dia
menyentuhku! Entah apa lagi yang bisa kupikirkan saat itu, selain berkhayal
mengapa bumi tidak runtuh saja, agar aku tidak merasakan kulitnya menyentuh
kulitku, matanya menatap mataku, bibirnya menggumam namaku. Aku kehilangan
kesadaran.
Saat
bangun, aku sudah di kasur rumah, dengan tatapan mata ibu yang bingung dan
khawatir dengan keadaanku.
“Ibu, apa aku
sudah berubah menjadi manusia plastik?” tanyaku
cemas.
“Belum Nak, kamu
istirahat dulu, syok dan takut berlebih membuat kamu tak sadarkan diri tadi.” ucap ibu meyakinkanku. Kata-kata ibu belum membuatku tenang,
langsung kusambar cermin kecil, dan menjelajah setiap lekuk wajah. Dari kening
sampai dagu kususuri perlahan, ternyata aman, aku menghela nafas lega.
Tiba-tiba
ada suara ketukan pintu, membuyarkan lamunanku dari manusia plastik, dan dari
pengalaman buruk yang selalu menghantui. Terlihat seraut wajah menyembul dari
balik pintu yang tak terkunci. Tetapi, tunggu dulu, aku mengucek mata sekali
lagi, lagi dan berulangkali, sampai mataku merah dan berair. Hampir saja aku
lupa cara bernafas, tercengang menahan cemas, ibu sudah berubah jadi manusia
plastik!. Perlahan tapi pasti, ibu yang seluruh wajah dan tubuhnya licin plastik,
mendekatiku yang kikuk dan mati gaya di hadapan jendela. Langkah kakinya
menghasilkan suara tak-tok-tak-tok, seperti botol minum plastik yang dijalankan
dengan berjingkat-jingkat di atas lantai keramik.
“Ibu..ibu..kenapa
ibu berubah jadi manusia plastik? Aku mengucap terbata-bata.
“Kllsstt...kllssttt...kllsstt...kllsstt”
yang keluar dari mulut ibu hanya bunyi “keset-keset” ngilu yang
membuat bulu kuduk merinding tak tahan.
“Ibu...ibu...jangan
mendekat, sana bu, menjauh!” aku
melemparkan apapun yang dapat kujangkau ke muka ibu. Sial sekarang aku sudah
sah jadi anak manusia plastik!.
#katahatiproduction
#katahatichallenge
#fiksimini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar