Resensi buku Ibu Susu karya Rio
Johan ini menjadi yang pertama kali saya kerjakan karena akhirnya sadar dan
mengerti bahwa setiap buku yang telah saya baca perlu mendapat ulasan (sesuai kadar
kemampuan) saya agar selalu membekas di ingatan, menjadi pengalaman dan
pengetahuan untuk ke depannya. Novel pertama di 2019 yang berhasil saya lahap
tuntas selama kurang lebih 2 hari. Buku ini meraih penghargaan KSK (Kusala
Sastra Khatulistiwa) pada tahun 2018 kemarin untuk kategori karya pertama dan
kedua yang didedikasikan kepada penulis pemula. Sungguh pencapaian luar biasa
mengingat buku ini ditulis oleh seorang lelaki kelahiran tahun 1990, sebab
masih terbilang muda dan belia.
Kisah
dalam buku ini dimulai dari penjabaran tentang Firaun Theb yang bermimpi hujan
susu, susu-susu itu meruah dan meluap-luap di sungai. Segenap lembah,
gurun-gurun, perbukitan banjir oleh susu. Sampai pada puncaknya badai yang
menggelung pun menguarkan susu, alih-alih pasir. Lantas setelah mimpi itu,
datanglah mala petaka pada putranya, Sem. Sem ditemukan sudah kaku dengan badan
yang lemah tetapi masih bernafas kecil. Tidak ada rintihan, tangisan, atau
gerakan merengek darinya. Alhasil Sem serupa mayat hidup yang tidak mati tapi
juga tidak seperti bayi normal sebagaimana biasanya.
Singkat
cerita setelah Firaun Theb mendapat petanda lagi dari mimpinya, yakni ia
dituntun untuk menemukan ibu susu yang bukan sembarangan, ibu susu istimewa dan
satu-satunya yang bisa menyembuhkan Sem dari sakitnya tersebut. Ibu susu yang
memiliki kantung susu mujarab serupa obat berkhasiat. Tentu pencarian ini pula
juga tidak mudah, sebab Firaun Theb dan para wazirnya harus menghitung dan
mencocokan bintang-bintang, waktu, keadaan gurun, dan perempuan yang lahir
bertepatan dengan bintang di hari dia bermimpi, sedangkan dalam ratusan tahun,
bintang tersebut hanya muncul 37 kali saja.
Akhirnya
ditemukan lah perempuan yang sangat cocok dan diyakini sebagai ibu susu ajaib,
bernama Iksa. Ternyata hal ini juga tak mudah, mendapati kenyataan bahwa
sekujur tubuh perempuan Iksa penuh dengan koreng-kemoreng yang berbau busuk dan
menjijikan, tetapi anehnya dua kantung susu yang menggantung di dadanya itu
bersih, ranum, khalis, segar sempurna dan tanpa cela. Hal yang sangat
bertentangan sekali mengingat seluruh tubuhnya bagai padang koreng yang selalu
basah dan enggan mengering juga.
Hal
lain yang bertambah pelik adalah saat perempuan Iksa memberikan “syarat”
sebagai tebusan dan “bayaran” atas pengabdian kantung susunya untuk pangeran
Sem. Perempuan Iksa menuntut 3 permintaan yang harus dikabulkan Firaun Theb. Yang
pertama perempuan Iksa meminta sejumlah besar bahan pangan (gandum, jagung,
roti, minyak, kurma, bawang dsb), sejumlah besar daging-dagingan (sapi, unta,
domba dll), sejumlah besar batu-batuan (lazuardi, emas, perak, tembaga dsb) dan
kesemuaan barang-barang itu harus dibagikan kepada para budak korban peperangan
sepanjang delta sampai ke tanah-tanah taklukan.
Yang
kedua, sebagaimana perempuan yang mempunyai kantung susu bagus dan sehat
adalah perempuan yang sedang hamil atau baru melahirkan, maka perempuan Iksa
yang tidak sedang dan belum pernah hamil itu ingin jika bayi yang akan
dikandungnya adalah hasil dari hubungannya langsung bersama Firaun Theb.
Yang
ketiga, permintaannya yang sangat krusial dan kelak nanti menjadi boomerang
sendiri bagi perempuan Iksa, adalah ia minta agar puteranya kelak menjadi
teman, sahabat, rekan, saudara pangerang Sem. Tetapi di sini perempuan Iksa
berkali-kali menegaskan bahwa maksudnya ini bukan karena ingin mengincar
kedudukan, kehormatan ataupun kemulian. Perempuan Iksa murni melakukannya agar
anaknya kelak bisa hidup cukup dan tidak menderita seperti ibunya.
Maka
hari yang ditentukan datang, perempuan Iksa akan menyusui Pangeran Sem. Memang
benar air susu dari kantung susu perempuan Iksa lah yang satu-satunya mampu
menyembuhkan Sem. Tetapi susunya ternyata sudah kering hanya dalam waktu 3 hari
saja, dan pangeran Sem juga telah pulih dan bugar. Sampai di sini, beberapa
kali Firaun Theb mendapat mimpi tentang susu, tetapi mimpinya yang terakhir
tidak bisa dikatakan mimpi yang bagus, karena cenderung mimpinya ini
ditafsirkan justru akan melahirkan petaka dan sengsara bagi kedaulatanya.
Akhirnya
perempuan Iksa didakwa akan mengancam kekusasaan Firaun Theb sebab permintaanya
yang terakhir sangat menjurus pada hal itu. Perempuan Iksa dihukum
ditenggelamkan disungai dengan batu besar yang diikatkan pada tubuhnya.
Begitulah tragis kematian perempuan Iksa. Di akhir cerita, dikisahkan bahwa
Firaun Theb akhirnya meinggal karena keadaan sakit yang sama seperti yang
diderita pangeran Sem dulu. Tamat.
Kisah
ini bagi saya sangat menarik dan hampir tidak bisa lama-lama berjauhan dengan
buku ini. Walau tidak tebal, hanya sekitar 200 halaman, tetapi alur cerita yang
runtut dan beberapa kosakata aneh dan jarang dipakai seperti lentil,
jumantara, sempena, cangkriman, disuguhkan disetiap kalimat dan tidak
terkesan dipaksa-paksakan menempel pada cerita. Dan jujur saja ini menjadi karya
pertama Rio Johan yang saya baca, dan saya sangat jatuh cinta pada karyanya
ini.
Detail
kehidupan pada masa Mesir kuno juga sangat terasa, kental dan kaya sekali,
seperti ritual, makanan, dewa-dewi,
budaya, kebiasaan, dll. Saya sangat menikmati setiap torehan kata-kata yang Rio
Johan tuturkan, dan tidak bisa tidak percaya bahwa novel ini nyatanya hanya
fiksi sejarah semata. Novel ini sukses membawa saya pada masa Mesir kuno yang
sakral dan agung pada zamannya. Narasi-narasi panjang juga sering menghiasi
setiap lembar cerita ini. Beberapa kali juga saya tergelak dan senyum-senyum sendiri
pada beberapa penuturan Rio Johan yang menghibur selera humor saya.
Novel
ibu susu ini ditulis penulisnya pada saat mengikuti residensi di Berlin, dan
dari pengakuannya kita ketahui bahwa riset yang digunakannya tidak sembarangan,
sebab butuh berkali-kali bagi penulis mengunjungi museum dan perpustakaan untuk
melengkapi kekayaan isi dalam novel ini.
Depok, 13 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar