Sejak lahir saya tinggal di daerah perkotaan. Dari bayi sampai Taman Kanak-kanak saya habiskan di Jakarta, lalu setelah itu hijrah ke Depok dan bermukim di sini sampai usiaku yang ke-22 tahun. Dua puluh dua tahun hidup di ibu kota, membuat saya tidak mengenal asal dan kampung orangtuaku. Ayah yang asli orang Sunda yakni daerah Tasikmalaya, tidak sama sekali mewariskan budaya Sunda-nya baik dari bahasa, kebiasaan, ataupun pergaulan. Sebenarya agak malu juga jika aku sebagai orang Sunda (karena mengikuti keturunan ayah) harus merasa asing dengan asal sendiri.
Budaya
perkotaan jelas dan tentu berbeda sekali dengan di kampung saya Tasikmalaya,
yang selalu saya kunjungi hanya satu kali dalam satu tahun yakni hanya saat
Lebaran saja. Mayoritas orang kota atau yang tinggal di perkotaan, akan merasa
bingung jika ditanya apa budaya mereka?. Barangkali ini disebabkan oleh
sempitnya penafsiran mereka tentang budaya, yang hanya dianggap sebagai bentuk
kebiasaan masyarakat tradisional, sehingga orang kota tidak mungkin mau dikatakan
orang yang tradisional, alias sangat bertentangan dengan modernisasi yang
sedang digembar-gemborkan.
Krisis
budaya bagi masyarakat perkotaan semakin hari semakin meresahkan dan menjadi
hal yang wajib kita kaji kembali. Sebab adanya kerancuan, persilangan dan
perkawinan banyak budaya, termasuk budaya barat. Krisis identitas dan lemahnya
pengetahuan tentang budaya masyarakat perkotaan ini yang menjadi ketertarikan saya
membahas lebih lanjut dan mendalam. Karena budaya juga tidak sekedar
adat-istiadat, yang umumnya menjadi “nyawa” bagi masyarakat pedesaan. Padahal
kalau ingin ditelisik makna sederhana budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari
generasi ke generasi.[1]
Sejak
lama hidup di lingkungan perumahan, hampir-hampir saya kesulitan untuk
menentukan apa budaya yang berkembang di daerah ini. Masyarakat di lingkungan
ini, sebagai mana juga kebanyakan terjadi di lingkungan perumahan lainnya,
adalah masyarakat yang jarang berbaur dengan tetangga. Entah karena setiap
rumah dipisahkan tembok dan pagar, menjadikan kehidupan bertetangga tidak begitu
kentara. Melakukan komunikasi dan interaksi hanya sekadar dan jika ada perlunya
saja. Tentu semua itu kembali pada diri dan pribadi masing-masing. Orang yang
berkepribadian luwes dan gampang bergaul, tentu akan mendobrak kebiasaan saling
tak acuh dalam bertetangga. Tetapi bagi mereka yang hidupnya mengalir dan
mengikuti arus saja, akan nyaman dengan budaya yang minimalis ini.
Tetapi
terlepas dari itu semua, ada satu budaya masyarakat perkotaan yang menarik
minat saya untuk membahasnya, yakni maraknya perkumpulan (geng) ibu-ibu “sosialita”.
Sebenarnya terlalu berlebihan kalau saya menyebut kata “sosialita”, karena kata
sosialita sendiri memiliki makna yang luas dan beragam, di antaranya adalah
seseorang yang menghabiskan waktunya untuk acara sosial, menghibur atau
mendapat hiburan, atau ada juga yang menafsirkan sebagai sekelompok orang yang
gemar memakai barang-barang mewah dan bergaya hidup glamour. Masyarakat “sosialita”
mayoritas bertempat tinggal di daerah perkotaan.
Ibu-ibu
ini senang membentuk grup atau geng. Biasanya dilandasi dengan acara arisan
yang diklaim sebagai ajang silaturahmi dan berguna menjadikan jalinan
pertemanan semakin hangat dan lekat. Ada juga yang membentuk geng ibu-ibu
sekolahan, yakni kumpulan ibu-ibu yang saban hari antar-jemput anak di sekolah.
Karena intensitas pertemuan mereka lebih sering dan mudah, hingga dengan
cepatnya terbentuk geng ibu-ibu sekolahan. Yang seringkali terlihat, walau sudah
ibu-ibu, tetapi gaya, tingkah laku, dan pergaulan mereka sudah seperti anak
muda saja. Tentunya hal ini berbeda jauh dengan atmosfer kehidupan ibu-ibu yang
tinggal di daerah pedesaan, yang tidak neko-neko dalam bergaul dan bergaya
hidup. Saya rasa trend geng ibu-ibu ini menjadi salah satu budaya masyarakat
perkotaan yang dituntut untuk hidup bersosial tetapi tidak menghilangkan unsur
kemodernan.
Menjamurnya
geng ibu-ibu ini dirasa masih di ambang wajar, mana kala tidak sampai membuat
kehidupan pribadi mereka dalam berumah tangga tidak menjadi korban. Seperti karena
sibuknya berkumpul dengan teman-teman, sehingga meninggalkan banyak
kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri. Atau menggunakan uang belanja untuk
bayar arisan. Mencampur adukkan kebutuhan dan keinginan, sampai tidak bisa
membedakan mana yang perlu diprioritaskan dan mana yang hanya sebatas untuk
kesenangan. Ibu-ibu "sosialita" seharusnya juga mampu menjadi ibu-ibu yang cerdas hati dan pikiran. Mampu me-manage kegiatan dari bangun di pagi hari, sampai malam menjelang tidur.
Tidak ada yang salah dengan perkumpulan (geng) ibu-ibu, bahkan ini menjadi nilai positif yang dapat terus dilestarikan dan dijaga tatkala mampu menyikapinya dengan tepat dan sesuai kebutuhan dan keperluan. Tidak berlebihan, hingga menempatkannya di bagian paling prioritas dalam hidup dan melupakan kewajiban tugas mulia seorang ibu.
#katahatiproduction #katahatichallenge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar