Rabu, 23 Januari 2019

Potret Budaya Ibu-ibu Perkotaan


   
      Sejak lahir saya tinggal di daerah perkotaan. Dari  bayi sampai Taman Kanak-kanak  saya habiskan di Jakarta, lalu setelah itu hijrah ke Depok dan bermukim di sini sampai usiaku yang ke-22 tahun. Dua puluh dua tahun hidup di ibu kota, membuat saya tidak mengenal asal dan kampung orangtuaku. Ayah yang asli orang Sunda yakni daerah Tasikmalaya, tidak sama sekali mewariskan budaya Sunda-nya baik dari bahasa, kebiasaan, ataupun pergaulan. Sebenarya agak malu juga jika aku sebagai orang Sunda (karena mengikuti keturunan ayah) harus merasa asing dengan asal sendiri.
     Budaya perkotaan jelas dan tentu berbeda sekali dengan di kampung saya Tasikmalaya, yang selalu saya kunjungi hanya satu kali dalam satu tahun yakni hanya saat Lebaran saja. Mayoritas orang kota atau yang tinggal di perkotaan, akan merasa bingung jika ditanya apa budaya mereka?. Barangkali ini disebabkan oleh sempitnya penafsiran mereka tentang budaya, yang hanya dianggap sebagai bentuk kebiasaan masyarakat tradisional, sehingga orang kota tidak mungkin mau dikatakan orang yang tradisional, alias sangat bertentangan dengan modernisasi yang sedang digembar-gemborkan.
     Krisis budaya bagi masyarakat perkotaan semakin hari semakin meresahkan dan menjadi hal yang wajib kita kaji kembali. Sebab adanya kerancuan, persilangan dan perkawinan banyak budaya, termasuk budaya barat. Krisis identitas dan lemahnya pengetahuan tentang budaya masyarakat perkotaan ini yang menjadi ketertarikan saya membahas lebih lanjut dan mendalam. Karena budaya juga tidak sekedar adat-istiadat, yang umumnya menjadi “nyawa” bagi masyarakat pedesaan. Padahal kalau ingin ditelisik makna sederhana budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1]
  Sejak lama hidup di lingkungan perumahan, hampir-hampir saya kesulitan untuk menentukan apa budaya yang berkembang di daerah ini. Masyarakat di lingkungan ini, sebagai mana juga kebanyakan terjadi di lingkungan perumahan lainnya, adalah masyarakat yang jarang berbaur dengan tetangga. Entah karena setiap rumah dipisahkan tembok dan pagar, menjadikan kehidupan bertetangga tidak begitu kentara. Melakukan komunikasi dan interaksi hanya sekadar dan jika ada perlunya saja. Tentu semua itu kembali pada diri dan pribadi masing-masing. Orang yang berkepribadian luwes dan gampang bergaul, tentu akan mendobrak kebiasaan saling tak acuh dalam bertetangga. Tetapi bagi mereka yang hidupnya mengalir dan mengikuti arus saja, akan nyaman dengan budaya yang minimalis ini.
    Tetapi terlepas dari itu semua, ada satu budaya masyarakat perkotaan yang menarik minat saya untuk membahasnya, yakni maraknya perkumpulan (geng) ibu-ibu “sosialita”. Sebenarnya terlalu berlebihan kalau saya menyebut kata “sosialita”, karena kata sosialita sendiri memiliki makna yang luas dan beragam, di antaranya adalah seseorang yang menghabiskan waktunya untuk acara sosial, menghibur atau mendapat hiburan, atau ada juga yang menafsirkan sebagai sekelompok orang yang gemar memakai barang-barang mewah dan bergaya hidup glamour. Masyarakat “sosialita” mayoritas bertempat tinggal di daerah perkotaan.
       Ibu-ibu ini senang membentuk grup atau geng. Biasanya dilandasi dengan acara arisan yang diklaim sebagai ajang silaturahmi dan berguna menjadikan jalinan pertemanan semakin hangat dan lekat. Ada juga yang membentuk geng ibu-ibu sekolahan, yakni kumpulan ibu-ibu yang saban hari antar-jemput anak di sekolah. Karena intensitas pertemuan mereka lebih sering dan mudah, hingga dengan cepatnya terbentuk geng ibu-ibu sekolahan. Yang seringkali terlihat, walau sudah ibu-ibu, tetapi gaya, tingkah laku, dan pergaulan mereka sudah seperti anak muda saja. Tentunya hal ini berbeda jauh dengan atmosfer kehidupan ibu-ibu yang tinggal di daerah pedesaan, yang tidak neko-neko dalam bergaul dan bergaya hidup. Saya rasa trend geng ibu-ibu ini menjadi salah satu budaya masyarakat perkotaan yang dituntut untuk hidup bersosial tetapi tidak menghilangkan unsur kemodernan.
    Menjamurnya geng ibu-ibu ini dirasa masih di ambang wajar, mana kala tidak sampai membuat kehidupan pribadi mereka dalam berumah tangga tidak menjadi korban. Seperti karena sibuknya berkumpul dengan teman-teman, sehingga meninggalkan banyak kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri. Atau menggunakan uang belanja untuk bayar arisan. Mencampur adukkan kebutuhan dan keinginan, sampai tidak bisa membedakan mana yang perlu diprioritaskan dan mana yang hanya sebatas untuk kesenangan. Ibu-ibu "sosialita" seharusnya juga mampu menjadi ibu-ibu yang cerdas hati dan pikiran. Mampu me-manage kegiatan dari bangun di pagi hari, sampai malam menjelang tidur. 
       Tidak ada yang salah dengan perkumpulan (geng) ibu-ibu, bahkan ini menjadi nilai positif yang dapat terus dilestarikan dan dijaga tatkala mampu menyikapinya dengan tepat dan sesuai kebutuhan dan keperluan. Tidak berlebihan, hingga menempatkannya di bagian paling prioritas dalam hidup dan melupakan kewajiban tugas mulia seorang ibu. 

#katahatiproduction #katahatichallenge




[1] Sumber Wikipedia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar