Senin, 04 Februari 2019

Kandidat Jodoh- Cerpen


   
    Matahari menajamkan teriknya di siang gersang, panasnya bagai dipanggang dagingku sampai batas kematangan maksimal, banyak orang bilang, bila siang panasnya seperti direbus ubun-ubun, itu pertanda akan ada hujan yang bertandang menanti di ujung hari. Juga telepon yang baru lima menit sebelumnya kuterima tadi, bagai petir yang menembus masuk ke dalam lubang telingaku, suara ibu menggema sampai ke rongga dada, kata-katanya menampar-nampar kesadaranku, mengingatkan aku agar segera melepas masa bujangku yang hampir memasuki kepala tiga.
“Mau sampai kapan kau hidup sendiri, apa tampangmu kurang tampan untuk setidaknya memikat hati wanita, kemarin ibu bertemu dengan si Nandar, ternyata dia anaknya sudah lima loh sekarang”
Masih terngiang suara ibu di ujung gagang telpon, setiap sampai di penghujung bulan, hanya itu saja yang ibu ingatkan padaku, mencari istri.
“Rif, ibu ini sudah tidak muda lagi, khawatir kamu menunda nikah terlalu lama, nanti ibu keburu sudah tidak ada bagaimana?”
    Jika pembicaraan sudah menjurus kearah jodoh dan maut, aku hanya bisa usaha  “menenangkan” dirinya bahwa aku akan mencari calon istri secepatnya.
Jika  boleh jujur, kriteria yang aku pilih tidak muluk-muluk atau harus sempurna tok tanpa kekurangan. Mengingat umurku yang sudah hampir genap berkepala tiga,dan kata-kata ibu yang cemas dan khawatir aku akan jadi bujang lapuk, maka sementara aku akan fokuskan diriku untuk mencari calon istri.
   Sebenarnya sudah ada tiga calon kandidat yang akan aku perhitungkan untuk dijadikan istri, yang pertama, wanita yang mapan sudah kerja tapi urusan akademiknya dia tidak sampai mencicipi bangku kuliah, dia adalah adik kelas di bawahku lima tahun, sekarang dia menetap di Bandung.
   Kandidat yang kedua, dia calon sarjana pendidikan S1 dan sekarang juga tinggal di Bandung, walaupun dalam bidang akademiknya sudah bisa mengimbangi aku yang juga seorang dosen, tapi dia belum kerja, sehingga aku masih menganggapnya belum mapan dan aku harus siap menanggung segala biaya pernikahan, kelak jika memang kami berjodoh.
     Kandidat yang ketiga, dia masih sangat belia, bahkan baru lulus SMA tahun ini, pertama kali aku mengenalnya, karena dia adalah teman SD-nya adikku, walaupun dia tinggal di daerah yang jauh dari tempatku mengajar di Jakarta, tapi sesekali aku pernah menghubungi dia dan saling bertukar kabar. Maka dengan ikhtiar dan diringi doa kepada yang Maha Kuasa, hatiku tergerak untuk mengirimkan surat kepada mereka bertiga secara bersamaan.
    Aku menulis surat “lamaran” atau sebut saja surat ajakan untuk menikah kepada ketiga calon kandidatku, dengan harapan semoga salah satu dari mereka akan membalas dan mengiyakan tawaranku.
   Di lain sisi, aku agak merisaukan pula keputusanku ini mengirimkan surat kepada mereka , bagaimana bila mereka semua membalas suratku? Atau bagaimana pula jika mereka semua bahkan tak ada satu pun yang membalas suratku?.
Semua perasaan ragu dan khawatir selalu meliputi manusia, ketika mereka hendak mengambil keputusan, tapi hanya keyakinan yang kokoh pada diri sendiri yang mampu menepis semua gundah dan segala bentuk kecemasan.  
    Aku mengucap Basmallah sekali lagi ketika mulai menggoreskan penaku di atas selembar kertas. Siapapun wanita yang pertama kali akan membalas suratku, maka sudah kupastikan dia adalah jodohku dan akan segera aku sunting sebagai istri.
Salam,
Kepada Yth. Adinda (yang menerima surat)
            Dengan kedatangan surat ini, kau pasti merasa heran dan bingung, gerangan apa sebenarnya maksudku mengirimimu surat. Tujuanku mengirim surat ini diiringi kerendahan hatiku yang terdalam, ingin memintamu untuk bersedia mengisi kekosongan hidupku yang sebentar, menjadi orang yang siap aku bahagiakan sepanjang usia, dan berkenan berjuang bersama membangun surga kecil kita di Dunia dan di Akhirat kelak. Aku ingin menawarkan kepadamu, kiranya sudi kau kusunting sebagai istri yang satu-satunya dan abadi selamanya.
Jika kau bersedia, maka balas surat ini secepat kau bisa setelah kau menerimanya, karena bila memang kita berjodoh, akan kuterima balasan suratmu, secepat angin membawa harapanku berkidung doa ke langit tujuh hingga sampai pada Sang Pencipta.

Salam, Taajul Arifin

   Aku membawa tiga surat sekaligus ke Kantor Pos untuk tiga calon kandidat istriku. Sambil kuberpasrah kepada yang Maha Kuasa, semoga salah satu dari mereka ada yang ikut tergerak hatinya untuk membalas suratku.
***********************************************************************
    Lepas sudah seminggu, setelah aku mengirimkan surat itu kepada mereka, tak jua satu pun balasan surat kuterima. Hatiku mulai dirundung resah, teringat lagi kata-kata ibu yang di telingaku berubah nada menjelma ancaman. Aku semakin rajin melantunkan doa-doa panjang setiap malam, berharap semoga yang Maha Segalanya, berbelas kasihan pada seonggok tubuh ini, yang merindukan pendamping hati.
*******************************************************************
   Di suatu pagi, petugas berseragam dan berkendaraan oranye bertandang ke rumahku. Membawakan surat yang kunanti siang-malam. Ternyata balasan pertama datang dari kandidat ke-tiga, yakni adik kelasku yang baru lulus SMA.
Seketika semringahku menerima balasannya harus tergantikan dengan kemuraman lagi. Dia menolakku secara halus. Berkata bahwa masih belum siap dirinya untuk membina rumah tangga denganku, masih panjang cita-citanya yang ingin diraihnya.
Terduduk lemas diriku di pangkuan kursi. Betapa masalah jodoh ini semakin membuatku pesimis. Hampir hilang harapanku, tapi aku masih ingat, bahwa masih ada dua kandidat lagi yang belum membalas suratku.
    Maka makin kutajamkan lagi deraian doa, mengkidungkan asaku yang teramat dalam memohon pengkabulan. Tak lupa juga aku meminta ibu untuk membantuku merayu Tuhan. Karena doa orang tua bukankan sesuatu yang bisa dengan mudahnya melesat sampai menembus langit ke-tujuh?
Beberapa minggu setelah surat penolakan yang pertama, datang lagi pak pos menyampaikan surat untukku. Berdebar jantungku, gemetar tangan menerima surat itu. “Tuhan apakah dia jodohku?”. Hampir-hampir aku terjatuh karena dirasa melemas semua sendi-sendiku, lelehan air mata tanda syukur, menggema di langit-langit rumahku, hari ini adalah hari terindah dalam hidupku. Rupanya si Calon Guru itu menerima tawaranku untuk membangun bahtera rumah tangga. Secepatnya akan kuajak rombongan keluargaku melamarnya.
*********************************************************************
“Mas, kenapa kau memilihku menjadi istrimu?”, tanya Anjani suatu ketika, istriku yang berwajah manis dan senyumnya yang saban hari selalu tak puas kupandang, membuat dadaku selalu berdegup setiap melihatnya.
“Karena kamu yang paling cepat membalas suratku, dan menerima tawaranku untuk kupersunting sebagai bidadari di rumah tangga kita”. Balasku dengan jujur, sambil merebahkan kepalaku  bermanja di pangkuannya. Seketika berubah raut wajahnya menjadi merah. Bukan karena tersipu malu, tapi wajah membingung campur cemburu, dan kurasa menanda geram. Uuppss...Aku langsung menepuk jidatku, sebab baru sadar apa yang barusan kukatakan. Celakalah aku, gumamku dalam hati.

-TAMAT-

#katahatichallenge
#katahatiproduction

Tidak ada komentar:

Posting Komentar