Matahari menajamkan teriknya di siang gersang, panasnya bagai dipanggang dagingku sampai batas kematangan maksimal, banyak orang bilang, bila siang panasnya seperti direbus ubun-ubun, itu pertanda akan ada hujan yang bertandang menanti di ujung hari. Juga telepon yang baru lima menit sebelumnya kuterima tadi, bagai petir yang menembus masuk ke dalam lubang telingaku, suara ibu menggema sampai ke rongga dada, kata-katanya menampar-nampar kesadaranku, mengingatkan aku agar segera melepas masa bujangku yang hampir memasuki kepala tiga.
“Mau
sampai kapan kau hidup sendiri, apa tampangmu kurang tampan untuk setidaknya
memikat hati wanita, kemarin ibu bertemu dengan si Nandar, ternyata dia anaknya
sudah lima loh sekarang”
Masih
terngiang suara ibu di ujung gagang telpon, setiap sampai di penghujung bulan,
hanya itu saja yang ibu ingatkan padaku, mencari istri.
“Rif,
ibu ini sudah tidak muda lagi, khawatir kamu menunda nikah terlalu lama, nanti
ibu keburu sudah tidak ada bagaimana?”
Jika
pembicaraan sudah menjurus kearah jodoh dan maut, aku hanya bisa usaha “menenangkan” dirinya bahwa aku akan mencari
calon istri secepatnya.
Jika boleh jujur, kriteria yang aku pilih tidak
muluk-muluk atau harus sempurna tok tanpa kekurangan. Mengingat umurku yang
sudah hampir genap berkepala tiga,dan kata-kata ibu yang cemas dan khawatir aku
akan jadi bujang lapuk, maka sementara aku akan fokuskan diriku untuk mencari
calon istri.
Sebenarnya
sudah ada tiga calon kandidat yang akan aku perhitungkan untuk dijadikan istri,
yang pertama, wanita yang mapan sudah kerja tapi urusan akademiknya dia tidak
sampai mencicipi bangku kuliah, dia adalah adik kelas di bawahku lima tahun,
sekarang dia menetap di Bandung.
Kandidat
yang kedua, dia calon sarjana pendidikan S1 dan sekarang juga tinggal di
Bandung, walaupun dalam bidang akademiknya sudah bisa mengimbangi aku yang juga
seorang dosen, tapi dia belum kerja, sehingga aku masih menganggapnya belum
mapan dan aku harus siap menanggung segala biaya pernikahan, kelak jika memang
kami berjodoh.
Kandidat
yang ketiga, dia masih sangat belia, bahkan baru lulus SMA tahun ini, pertama
kali aku mengenalnya, karena dia adalah teman SD-nya adikku, walaupun dia
tinggal di daerah yang jauh dari tempatku mengajar di Jakarta, tapi sesekali
aku pernah menghubungi dia dan saling bertukar kabar. Maka
dengan ikhtiar dan diringi doa kepada yang Maha Kuasa, hatiku tergerak untuk
mengirimkan surat kepada mereka bertiga secara bersamaan.
Aku
menulis surat “lamaran” atau sebut saja surat ajakan untuk menikah kepada
ketiga calon kandidatku, dengan harapan semoga salah satu dari mereka akan
membalas dan mengiyakan tawaranku.
Di
lain sisi, aku agak merisaukan pula keputusanku ini mengirimkan surat kepada
mereka , bagaimana bila mereka semua membalas suratku? Atau bagaimana pula jika
mereka semua bahkan tak ada satu pun yang membalas suratku?.
Semua
perasaan ragu dan khawatir selalu meliputi manusia, ketika mereka hendak
mengambil keputusan, tapi hanya keyakinan yang kokoh pada diri sendiri yang mampu
menepis semua gundah dan segala bentuk kecemasan.
Aku
mengucap Basmallah sekali lagi ketika mulai menggoreskan penaku di atas
selembar kertas. Siapapun wanita yang pertama kali akan membalas suratku, maka
sudah kupastikan dia adalah jodohku dan akan segera aku sunting sebagai istri.
Salam,
Kepada
Yth. Adinda (yang menerima surat)
Dengan kedatangan surat ini, kau
pasti merasa heran dan bingung, gerangan apa sebenarnya maksudku mengirimimu
surat. Tujuanku mengirim surat ini diiringi kerendahan hatiku yang terdalam,
ingin memintamu untuk bersedia mengisi kekosongan hidupku yang sebentar,
menjadi orang yang siap aku bahagiakan sepanjang usia, dan berkenan berjuang
bersama membangun surga kecil kita di Dunia dan di Akhirat kelak. Aku ingin menawarkan
kepadamu, kiranya sudi kau kusunting sebagai istri yang satu-satunya dan abadi
selamanya.
Jika
kau bersedia, maka balas surat ini secepat kau bisa setelah kau menerimanya,
karena bila memang kita berjodoh, akan kuterima balasan suratmu, secepat angin
membawa harapanku berkidung doa ke langit tujuh hingga sampai pada Sang
Pencipta.
Salam, Taajul
Arifin
Aku
membawa tiga surat sekaligus ke Kantor Pos untuk tiga calon kandidat istriku.
Sambil kuberpasrah kepada yang Maha Kuasa, semoga salah satu dari mereka ada
yang ikut tergerak hatinya untuk membalas suratku.
***********************************************************************
Lepas
sudah seminggu, setelah aku mengirimkan surat itu kepada mereka, tak jua satu
pun balasan surat kuterima. Hatiku mulai dirundung resah, teringat lagi
kata-kata ibu yang di telingaku berubah nada menjelma ancaman. Aku semakin
rajin melantunkan doa-doa panjang setiap malam, berharap semoga yang Maha
Segalanya, berbelas kasihan pada seonggok tubuh ini, yang merindukan pendamping
hati.
*******************************************************************
Di
suatu pagi, petugas berseragam dan berkendaraan oranye bertandang ke rumahku.
Membawakan surat yang kunanti siang-malam. Ternyata balasan pertama datang dari
kandidat ke-tiga, yakni adik kelasku yang baru lulus SMA.
Seketika
semringahku menerima balasannya harus tergantikan dengan kemuraman lagi. Dia
menolakku secara halus. Berkata bahwa masih belum siap dirinya untuk membina
rumah tangga denganku, masih panjang cita-citanya yang ingin diraihnya.
Terduduk
lemas diriku di pangkuan kursi. Betapa masalah jodoh ini semakin membuatku
pesimis. Hampir hilang harapanku, tapi aku masih ingat, bahwa masih ada dua
kandidat lagi yang belum membalas suratku.
Maka
makin kutajamkan lagi deraian doa, mengkidungkan asaku yang teramat dalam
memohon pengkabulan. Tak lupa juga aku meminta ibu untuk membantuku merayu
Tuhan. Karena doa orang tua bukankan sesuatu yang bisa dengan mudahnya melesat
sampai menembus langit ke-tujuh?
Beberapa
minggu setelah surat penolakan yang pertama, datang lagi pak pos menyampaikan
surat untukku. Berdebar jantungku, gemetar tangan menerima surat itu. “Tuhan
apakah dia jodohku?”. Hampir-hampir aku terjatuh karena dirasa melemas
semua sendi-sendiku, lelehan air mata tanda syukur, menggema di langit-langit
rumahku, hari ini adalah hari terindah dalam hidupku. Rupanya si Calon Guru itu
menerima tawaranku untuk membangun bahtera rumah tangga. Secepatnya akan kuajak
rombongan keluargaku melamarnya.
*********************************************************************
“Mas,
kenapa kau memilihku menjadi istrimu?”,
tanya Anjani suatu ketika, istriku yang berwajah manis dan senyumnya yang saban
hari selalu tak puas kupandang, membuat dadaku selalu berdegup setiap melihatnya.
“Karena
kamu yang paling cepat membalas suratku, dan menerima tawaranku untuk kupersunting
sebagai bidadari di rumah tangga kita”. Balasku
dengan jujur, sambil merebahkan kepalaku
bermanja di pangkuannya. Seketika
berubah raut wajahnya menjadi merah. Bukan karena tersipu malu, tapi wajah
membingung campur cemburu, dan kurasa menanda geram. Uuppss...Aku
langsung menepuk jidatku, sebab baru sadar apa yang barusan kukatakan.
Celakalah aku, gumamku dalam hati.
-TAMAT-
#katahatichallenge
#katahatiproduction